Hukum
shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki maka para ulama terjadi
perselisihan pendapat yang terbagi menjadi empat. Yaitu fardhu
kifayah, sunnah muakkad, hukumnya menjadi syarat sah shalat (kecuali
ada udzur), dan yang terakhir adalah fardhu ain tanpa menjadi syarat
sah shalat.
1.
Fardhu Kifayah
Ini adalah pendapat Imam
Syafi’i, Imam Abu Hanifah, jumhur ulama mutaqaddim dan banyak
ulama Hanafiyah serta Malikiyah.
Zhahirnya nash
(perkataan) Syafi’I, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah.
Inilah pendapat jumhur mutaqaddim (terdahulu) dari ulama Syafi’iyah
dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah (Ibnu Hajar, Fathul
Baari 2/26).
Dalil mereka adalah,
“Tidaklah ada tiga
orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada
mereka shalat kecuali Syeithon akan menguasainya. Berjamaahlah
kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian” (HR.
Abu Daud 460, An-Nasa’i 738, dan
Ahmad dalam musnadnya
no. 26242)
“Kembalilah kepada ahli
kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka serta ajari dan
perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaiamana
kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat hendaklah
salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam”
(HR. Bukhari
dalam Al Adzaan, no.
595 dan Muslim dalam
Shahih-nya
kitab Al Masaajid Wa
Mawaadhi’ Ash Shalat, bab Man Ahaqu Bil Imamah no. 1080)
“Shalat berjamaah lebih
utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” (HR.
Bukhari, Kitab
Al-Adzan no. 609)
2.
Sunnah Muakkad
Ini adalah pendapat
madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ibnu Abdil Barr
menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaz.
Dalil mereka adalah,
“Shalat berjamaah
mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” (HR.
Bukhari, Kitab
Al-Adzan no. 609)
“Sesungguhnya orang
yang mendapat pahal paling besar dalam shalat adalah yang paling jauh
jalannya kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai
shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat
kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib: sampai shalat bersama imam
dalam jama’ah” (Shahih
Muslim no. 1064)
Dan Imam Asy-Syaukani
memperkuat pendapat ini dengan mengatakan bahwa pendapat yang pas dan
mendekati kebenaran, shalat jamaah termasuk sunah-sunah yang muakkad.
Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau
syarat sah shalat maka tidak.
Pendapat ini pun didukung
oleh Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, serta Sayyid Sabiq
karena yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban
berjam’ah kepada peniadaan kesempurnaan dan bukan
keabsahannya (Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah 1/306
dan Fiqhus Sunnah 1/248)
3.
Sebagai Syarat Sah
Shalat
Ini adalah pendapat
zhahiriah dan sebagian ahli hadits. Pendapat ini didukung pula oleh
sejumlah ulama diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Aqiil
dan Ibnu Abi Musa, dll. Dalil mereka antar lain,
“Barang siapa yang
mendengar adzan lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya
kecuali karena udzur” (HR.
Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih
Sunan Ibni Maajah no. 631)
“Demi dzat yang jiwaku
ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar
lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku
perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan
seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk
menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar
rumah-rumah mereka” (HR.
Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1041)
“Seorang
buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
“wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke
masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau
memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan nabi,
langsung Rasulullah memanggilnya dan bertyanya: “apakah anda
mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab: “ya”. Lalu beliau
berkata: “penuhilah!” (HR.
Muslim no. 1044)
4.
Fardhu
‘Ain dan bukan Syarat Sah
Inilah pendapatnya Ibnu
Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Atha’ bin Abi Rabbaah, Al-Auzaa’i,
Ibnu Qudamah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, Ibnu Daqiqil ‘Ied,
kebanyakan ulama Hanafiyah dan madzhab Hanabilah. Dalil mereka
adalah,
“Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari
mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan
seraka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bershalat,lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan
senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan
atau karena karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu” (QS.
An-Nisa: 102)
Ayat ini telah
menggambarkan kewajiban shalat berjama’ah yang tidak memiliki udzur
seperti sakit atau hujan, dll.
“Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”
(QS. Al-Baqarah: 43)
Allah memerintahkan ruku’
bersama-sama orang-orang yang ruku’, dan yang demikian itu dengan
cara bergabung dalam ruku’. Maka ini merupakan perintah menegakkan
shalat berjama’ah. (Imam Al-Kasani, Al-Badai’
Ash-Shana’i 1/155)
“Seorang
buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
“wahai Rasulullah aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke
masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sehingga boleh shalat dirumah. Lalu beliau
memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan nabi,
langsung Rasulullah memanggilnya dan bertyanya: “apakah anda
mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab: “ya”. Lalu beliau
berkata: “penuhilah!” (HR.
Muslim no. 1044)
“Jika
orang buta yang tidak memiliki orang yang mengantarnya tidak diberi
keringanan, maka selainnya lebih lagi” (Ibnu
Qudamah, Al
Mughni 3/6)
“Demi dzat yang jiwaku
ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar
lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku
perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan
seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk
menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar
rumah-rumah mereka” (HR.
Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1041)
Dalam menjelaskan hadits
di atas, Ibnu Hajar berkata,
“Adapun hadits bab
(hadits diatas) maka zhahirnya menunjukkan shalat jamaah fardhu ‘ain,
karena seandainya hanya sunnah tentu tidak mengancam peninggalnya
dengan pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi pada peninggal
fardhu kifayah seperti pensyariatan memerangi orang-orang yang
meninggalkan fardhu kifayah” (Fathul
Baari 2/125)
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah ada tiga
orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada
mereka shalat kecuali setan akan menguasainya. Berjama’ahlah
kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian” (HR.
Abu Daud 460, An-Nasa’i 738, dan Ahmad dalam musnadnya
no. 26242)
Kesimpulan
Dan akhirnya, setelah
menyimak uraian tadi, yang bisa kami simpulkan adalah bahwa dari
keempat pendapat tadi yang paling rajih (kuat) adalah pendapat
terakhir, yakni pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjama’ah di
masjid bagi laki-laki adalah wajib atau fardhu ‘ain, dan bukan
sebagai syarat sah. Jadi ketika seorang muslim tidak shalat di
masjid melainkan di rumah tapi tanpa udzur, maka meski ia melakukan
kesalahan tetapi amalan shalatnya tetap dihitung. Berdasarkan hadits
nabi,
“Shalat berjamaah lebih
utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat” (HR.
Bukhari, Kitab
Al-Adzan no. 609)
Di sini Nabi menyatakan
bahwa shalat sendirian tetap dihitung, meski dua puluh tujuh derajat
di bawah shalat berjama’ah di masjid.
Sementara itu, alasan
yang mendukung bahwa pendapat terakhirlah yang lebih kuat adalah:
Yang pertama,
bahwa kebanyakan ulama salaf mendukung pendapat itu
Yang kedua,
berdasarkan fatwa Lajnah Daimah, bahwa pendapat keempatlah yang
paling kuat (Fatawa
Lajnah Daimah 7/283)
Yang ketiga,
kebanyakan ulama khalaf atau baru yang ada di zaman ini menguatkan
atau mendukung pendapat yang mengatakan shalat berjama’ah di masjid
bagi laki-laki adalah fardhu ‘ain dan bukan syarat sah shalat.
Misalnya Syaikh Prof. DR.
Shalih bin Ghanim As Sadlaan
dalam kitabnya, Shalatul
Jama’ah.
Yang keempat,
bila dilihat dalil secara keseluruhan, maka pendapat terakhir yang
sangat mendekati keseluruhan dalil tersebut.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar